Pengembangan food estate sebagai lumbung pangan di Kalimantan Tengah (Kalteng), mendapat respon positif masyarakat, khususnya petani lahan rawa di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas. Program food estate yang dilakukan pemerintah sejak 2020/21 menjadi solusi peninmgkatan produksi khususnya padi di lahan rawa yang masih relative rendah. Saat ini sekitar 30.000 ha lahan rawa potensial yang berada di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas di Kalteng tengah mulai dikelola sebagai bagian kawasan food estate dan akan terus dikembangkan pada tahun mendatang. Ketersediaan lahan berpotensi yang cukup luas dan air yang berlimpah, serta keberadaan petani di lokasi lahan rawa di Kalteng berpotensi besar dapat dikembangkan hulu-hilir menjadi salah satu lumbung pangan. Langkah awal food estate yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian (Kementan) saat ini adalah pemetaan dan penataan lahan serta introduksi teknologi unggulan khususnya pada budidaya padi sebagai komoditas utama yang hasilnya masih relative rendah yaitu berkisar 2-3 ton GKG per ha. Introduksi teknologi ini diarahkan pada solusi terhadap berbagai kendala spesifik lahan rawa antara lain lahan masam (pH rendah), kandunga firit dan sulfat tinggi serta banjir atau rendaman saat air pasang yang menjadi pembatas utama pertumbuhan dan hasil padi.
Sebagai percontohan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian, saat ini tengah menggelar demfarm di kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas pada lahan masing-masing seluas 1000 ha yang telah ditanamai padi sejak Oktober 2020. Kepala Balitbangtan, Dr. Fadjry Djufry menjelaskan bahwa demfarm ini disebut sebagai Food Esatate Central of Excellence atau pusat keunggulan dari teknologi yang diintroduksikan. Diharapkannya demfarm ini menjadi percontohan serta kajian untuk pengembangan secara luas dan terintegrasi khususnya di kawasan food estate Kalteng. Khusus untuk padi menurutnya telah dipersiapkan teknologinya mulai dari varietas adaptif lahan rawa, teknologi pendukung serta saprodi dan managmen pengelolaannya. Varietas adaptif yang digunakan diantaranya adalah Inpari 30, Inpari 32 HDB, Inpari 42 GSR dan hibrida padi, sedangkan teknologi pendukungnya adalah teknologi Pengelolaan Tanaman secara Terpadu (PTT) padi rawa yang disebut teknologi RAISA (Rawa Intensif Super Aktual).
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Dr. Priatna Sasmita saat berada di lapangan, menambahkan bahwa varietas yang digunakan merupakan varietas yang telah dikaji keunggulan adaptasinya pada lahan rawa. Selanjutnya Sasmita menyatakan pula bahwa pada demfarm ini mengunakan benih sumber kelas SS (Stock Seed = Benih Pokok) dengan tujuan agar varietas terbaik dapat dipanen dan dijadikan benih sebar untuk dikembangkan secara luas pada kawasan food estate. Sasmita menjelaskan pula bahwa RAISA merupakan PTT padi rawa yang komponen teknologinya hasil rakitan Balitbangtan meliputi: varietas adaptif, penggunaan ameliorase (pembenah tanah) berupa dolomit 1-2 ton per ha, aplikasi pupuk hayati berupa Agrimeth yang diberikan sebagai seed treatment dan aplikasi biotara pada lahan, cara tanam sesuai rekomendasi (Tabela atau Legowo 2:1), melakukan pengaturan tata air mikro, pemupukan sesuai rekomendasi berdasarkan PUTR (Perangkat Uji Tanah Rawa), pengendalian OPT secara terpadu dan penggunaan alsintan.
Demfarm Food Esatate Central of Excellence di kabupaten Pulang Pisau yang berlokasi di Desa Blantisiam Kecamatan Pandih Batu, saat ini tengah memasuki umur panen dan keragaannya menunjukkan gambaran awal keberhasilan dari teknologi yang diintroduksikan. Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Tengah Dr. Syamsuddin sebagai koordinator lapangan demfarm Food Esatate Central of Excellence menyatakan optimis bahwa petani kooperator berhasil panen lebih tinggi dari hasil panen musim sebelumnya, meski musim ini dihadapkan kendala yang tidak terprediksi sebelumnya yaitu tingginya curah hujan. Menurutnya sejak awal Januari 2021 sampai sekarang hujan hampir tiap hari hingga menyebabkan tanaman roboh dan terendam banjir.
Pertanaman Padi varietas Inpari 42 GSR di Balntisiam saat ini sebagian telah mulai dipanen. Salah seorang petani kooperator Pak Salim 55 tahun, mengakui bahwa sebagian pertanamannya telah dipanen dengan hasil sebanyak 5,6 ton GKG per ha. Petani lainnya, Pak Taufik dari Kelompok Tani Karya Makmur menyatakan bersyukur bahwa dari 100 ha pertanaman di kelompoknya mencapai rata-rata hasil 6,4 ton (GKG) per ha, lebih tinggi dari hasil panen musim sebelumnya. Taufik mengemukakan pula keinginannya bahwa sebagian dari hasil panennya siap dijadikan benih. Dari Kelompok Tani lainnya Kelompok Rukun Santosa, Mujianto (35 tahun) melaporkan pula bahwa dari 100 ha pertanaman di kelompoknya sebagian telah dinanen dengan rata-rata hasil 5,6 ton GKG per ha.
Keberhasilan petani dalam hal meningkatnya produksi padi pada demfarm food estate di Blantisiam ini diakui pula oleh petugas Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman (POPT) Desa Blantisiam, Kecamatan Pandih Batu, Edi Subaedi. Berdasarkan hasil pengamatannya Subaedi mengakui bahwa panen petani kooperator di Balntisiam sangat memuaskan dengan rata-rata 5,5-5,6 ton GKG/ha, yang lebih tinggi dari hasil panen musim sebelumnya. Diakuinya pula bahwa di beberapa titik ada juga sebagian kecil pertanaman petani yang belum memuaskan karena factor iklim (curah hujan tinggi) yang menyebabkan pertanaman roboh dan agak menylulitkan penggunaan combine harvester saat memanen. Untuk menyelamatkan kerusakan, petani tersebut terpaksa juga melakukan panen lebih awal sehingga masih banyak bulir yang masih hijau. . Kendala lainnya adalah adanya serangan tikus di beberapa titik lahan petani, namun menurutnya hama ini dapat dikendalikan dengan baik oleh petani.
Menurut Subaedi, secara umum hasil padi di demfarm food estate khususnya di Blantisiam relative lebih baik dibandingkan dengan hasil panen musim sebelumnya. Kendala utama yang dihadapi petani demfarm di Blantisiam saat ini adalah factor iklim berupa curah hujan yang tinggi di saat padi menjelang panen. Kondisi ini bukan hanya menyebabkan pengisian kurang optimal namun juga menyebabkan pertanaman roboh dan terendam. Selanjutnya panen pada kondisi hujan ini menyulitkan pula bagi petani dalam hal penanganan pengeringannya karena belum tersedia dryer yang mengakibatkan kualitas gabah kurang baik. Dari pengalaman petani diketahui bahwa biasanya petani di Blantisiam melaklukan tanam pada Bulan Desember untuk menghindari panen di bulan Januari yang biasanya hujan seperti yang dialami pada musim ini. Sehubungan dengan kendala tersebut, diharapkan pada tahun mendatang dapat menentukan jadual tanam yang tepat agar panen tidak jatuh saat curah hujan tinggi. (PS, SY, IH)